Berdasar UU 1 tahun 2004 pada
Pasal 1 angka 22 Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
Pasal 64 Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, dan pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian negara/daerah dapat dikenai sanksi administratif dan/atau sanksi pidana. Putusan pidana tidak membebaskan dari tuntutan ganti rugi
Pasal 63 Pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/ bupati/walikota. Tata cara tuntutan ganti kerugian negara/daerah diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 63 ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah (PP) No 28 tahun 2016 tentang Tata Cara Tuntutan Ganti Kerugian Negara/Daerah Terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara Atau Pejabat Lain.
Bagaimana dengan tindak pidana korupsi , UU 31 tahun 1999 ?
Pasal 2
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negaraatau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal 4
Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
Pasal 32
(1) Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan.
(2) Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara.
Berdasar pengamatan saya, praktek di kasus tindak pidana korupsi berkaitan dengan pasal 2 dan pasal 3 UU Tipikor, yaitu sebagian besar penanganan permasalahan hukum di pengadaan dimulai dari proses penanganan hukum karena kesalahan prosedur pengadaan, sehingga aparat penegak hukum sibuk mencari kesalahan administrasi atau kesalahan prosedural pengadaan. Kemudian berikutnya mencari adanya kerugian negara.
Berdasar kesalahan prosedur dan kerugian negara, suatu kasus dibawa ke pengadilan tipikor, ke pengadilan tipikor untuk dibuktikan adanya kesalahan prosedur dan kerugian negara. Seharusnya menurut saya yang dibawa ke pengadilan tipikor adalah adanya keserakahan, dengan bukti awal adalah adanya keserakahan, yang selanjutnya harus dibuktikan di pengadilan tipikor.
Apa itu contoh keserakahan ?
Yaitu adanya pengaturan negatif atau intervensi negatif suatu proses tender dan atau pelaksanaan kontrak, serta atau adanya sesuatu yang tidak patut untuk diterima oleh pegawai / pejabat negara. Mungkin sulit memang membuktikan adannya keserakahan. Memang pengadilan tipikor merupakan pengadilan yng bersifat extra ordinary, suatu proses di luar hal yang biasa. Diharapkan sekali pengadilan tipikor membuktikan adanya keserakahan, bukan mencari salah dan adanya kerugian negara.
Jadi kalau tidak terbukti adanya keserakahan, namun ada kerugian negara maka seharusnya dikembalikan ke pasal 32 UU Tipikor. Jadi kalau memang ada kerugian negara, tetapi bila tidak ada keserakahan maka di upayakan segera pengembalian kerugian negara.
Apakah dibiarkan akan terjadi kerugian negara ?
Tidak boleh terjadi, perlu dilakukan langkah-langkah pencegahan, jangan sampai terjadi, namun kalau terjadi perlu dikembalikan ke kas negara segera.
Ada artikel menarik dari penulis bernama Pinos Permana Pinem, SH. dengan judul sebagai berikut Problematika Unsur Kerugian Keuangan Negara Terkait Perkara Tindak Pidana Korupsi Yang Melibatkan BUMN.
Saya kutip, tertulis antara lain sebagai berikut “ Unsur kerugian keuangan negara ini sebenarnya sudah diwacanakan untuk dihilangkan dalam revisi RUU Tipikor yang baru (Prolegnas 2013). Dengan mengadopsi nilai yang terdapat dalam Konvensi Anti-Korupsi PBB tahun 2003 yang telah pula diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan Konvensi UNCAC Tahun 2003. Konvensi UNCAC PBB tahun 2003 setidaknya mengatur tentang 4 hal:
1. Basic forms of corruption such as bribery and embezzlement;
2. Complex forms of corruption such as trading in influence, laundering of proceeds;
3. Offences committed in support of corruption such as money laundering or obstructing justice;
4. Private sector corruption.[1]
Dalam konvensi tersebut, korupsi di sektor privat memang menjadi salah satu poin penting, unsur merugikan keuangan negara oleh karenanya tidak relevan lagi. Mengenai hal ini, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), berpendapat setidaknya ada 5 (lima) alasan mengapa unsur kerugian keuangan negara patut dihilangkan, yakni sebagai berikut:[2]
A. Standar internasional United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC) yang sudah diratifikasi dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2006, tidak memasukkan unsur kerugian negara lagi sebagai salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi;
B. Banyak tindak pidana korupsi yang tidak merugikan keuangan negara secara langsung, seperti tindak pidana penyuapan. Dalam hal ini yang dirugikan adalah masyarakat;
C. Akan terjadi perlakuan yang sama antara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan perusahaan swasta, jika terjadi tindak pidana yang melibatkan perusahaan tersebut;
D. Membuka peluang dituntutnya kerugian non keuangan negara, sebab dampak korupsi tidak hanya menimbulkan kerugian keuangan negara namun juga kerugian lain seperti kerugian masyarakat/sosial dan bahkan juga kerugian ekologis;
E. Mendorong percepatan penanganan perkara korupsi. “
Demikian tulisan ringan ini, semoga kita dapat lebih fokus menangani perkara korupsi yang merupakan keserakahan , bukan meramaikan pengadilan tipikor dengan hanya sekedar kesalahan prosedural dan kerugian negara.
Untuk para pengelola pengadaan dan para penyedia, kenyataannya mungkin belum seindah tulisan saya ini, maka jangan melakukan kesalahan , apalagi keserakahan.